Bagi Seorang muslim tidak ada larangan untuk menghimpun harta sebanyak-banyaknya selama dilakukan dengan cara yang halal dan dikembangkan dengan cara yang dibenarkan. Sebab, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang saleh.” (HR Ahmad). Seorang muslim tidak boleh memakan harta yang haram yang akan mendatangkan petaka dunia akhirat.
Allah befirman, “Wahai orang-orang beriman janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara batil kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku suka sama suka di antara kalian.” (QS an-Nisa: 29). Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Di antara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)
Nah, di antara cara memakan harta dengan cara batil adalah praktek suap-menyuap. Yaitu uang yang diberikan kepada pejabat, penguasa, birokrat, atau bahkan pengusaha dan swasta untuk memberikan fasilitas tertentu yang sesuai dengan keinginan si penyogok atau untuk melicinkan urusannya.
Islam mengharamkan seorang muslim untuk menempuh dan memberi suap sebagaimana mereka juga dilarang menerima suap jika diberi, atau bahkan dilarang menjadi perantara suap. Rasulullah saw bersabda, “Laknat Allah dalam hukum atas orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR Ahmad at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban). Tsauban berkata, “Rasulullah saw melaknat penyuap, yang disuap, dan perantaranya.” (HR Ahmad dan Hakim).
Apabila pihak penerima suap mengambilnya dengan cara zalim, tentu lebih jahat lagi. Rasulullah saw pernah mengutus Abdullah ibn Rawahah ra untuk menentukan besarnya jizyah yang harus dibayar orang-orang Yahudi. Mereka malah menawarkan sejumlah uang kepadanya. Menanggapi tawaran tersebut, ia berkata, “Suap yang kalian tawarkan kepada kami adalah haram. Kami tidak mau memakannya.” (HR Malik).
Tidaklah mengherankan jika Islam mengharamkan suap dan bersikap sangat keras terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam prakter suap dan sogok tersebut. Hal itu karena tersebarnya praktek suap dan sogok di masyarakat berarti merajalelanya kerusakan dan kezaliman di mana hukum telah dicampakkan dan mental oportunisme berkembang di dalamnya; bukan mental merasa bertanggung jawab melaksanakan kewajiban apa adanya.
Ketika menjadi khalifah, Umar ibn Abdul Aziz pernah diberi hadiah seraya dikatakan padanya, “Rasulullah saw dahulu juga menerima hadiah.” Ia menjawab, “Baginya adalah hadiah, tetapi bagiku ini adalah suap.”
Adapun dalam kasus tertentu, misalnya ketika seseorang kehilangan haknya dan ia sulit untuk kembali mendapatkan haknya kecuali dengan jalan menyuap, atau ia terzalimi namun tidak bisa lepas darinya kecuali dengan menyuap, yang lebih utama adalah bersabar sampai Allah memberikan kemudahan agar bisa terlepas dari kezaliman dan kembali memeroleh haknya. Jika untuk itu tidak ada jalan lain kecuali menyuap, maka yang berdosa adalah penerima suap, sementara si penyuap tidak berdosa selama memang telah mencoba dengan berbagai cara tetapi tidak berhasil.
Sebagai seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah) yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik suap-menyuap tersebut.
“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).” [QS. Al-Qashash: 42]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar.
Senin, 10 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar